Part
1 “Tentang Putra Jiwa”
Kini
dia kembali setelah sekian lama sandiwara cinta di antara kita ber-1, 2, 3, 4
atau 10? Aku pun tak dapat menghitungnya. Kukira dia sudah benar-benar pergi.
Kututup kisah itu dengan sebuah cerita “Analogi-Analogi” dan “Potret Kamera” berharap
semua akan baik-baik saja namun ternyata prosesnya lama juga kurasa.
Persilatan
tak berhenti sampai Alicia memaafkan aku dan aku memberi ucapan selamat ulang
tahun padanya. Namun persoalannya kini mengarah padaku, ingat persoalan bukan
permasalahan. Dia datang dengan membawa seribu bunga seribu mawar dan melati
begitu indahnya, membuatku tersipu malu, membuatku gugup dengan pipi merah
merona. “Aku ingin bertemu denganmu, ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan,
Bunga.” Terserah orang mau bilang apa, rasanya sudah besar rasa, kau pasti akan
kembali menghantui untuk mempertanyakan bagiannya yang hilang.
“Iya
aku bisa, kapanpun kau bisa, maka aku pun bersedia.” Aku sudah mempersiapkan
segala sesuatunya. Segala yang akan aku berikan untuknya sebagai sebuah jawaban
terbaik dariku, dengan fakta-fakta yang pernah aku alami rentang waktu 2012 ke
2013.
***
Pertemuan
kami pun tak selancar niatannya untuk mengajakku bicara serius. Dunia
memutar-mutarkan kami dahulu. “Kita di sini sampe jam berapa Pril?” tanyaku.
“Emang kenapa Bun?” April malah nanya balik dan aku sedikit gugup menjawabnya.
“Aku ada janji sama klien, hehe.” “Jam berapa Bun?” jawabanku makin tidak
karuan. “Terserah gue kok, jadi gue ikut kalian aja. Klien gue yang satu ini
kapan aja bisa. Dia yang ikutin waktu gue.” Jawaban yang membuat kedua kening
temanku itu berkerut, April dan Yulia.
“Siapa
sih Bun?” Yulia mulai kepo.
“Ada
lah. Klien orang Bandung.”
“Jauh
dong ke Jakarta Bun.” April malah makin menambahkan.
“Iya
lumayan. Eh iya, katanya lo mau ngurus surat training tingkat 3 lo. Lo mau ke
kantor kan. Mending sekarang lo pulang aja, ngeprint surat. Kantor jam 3 tutup
loh kalau masa liburan gini” secara tidak langsung aku memang ingin cepat
bertemu dengannya, mendengar apa yang ingin dia bicarakan padaku.
“Bener
juga lo. Yaudah kita pisah di sini ya. Daaa Bunga.”
“Iyaaa
daaa, hati-hati ya kalian.”
****
“Halo,
Putra.....” aku langsung menelepon Putra dan ingin mengatakan kalau aku sudah
bisa menemuinya di tempat yang sudah dijanjikan.
“Bunga,
aku lagi di Rumah Ceria. Sebentar aja kok, sesudah itu aku langsung ke Cafe
tempat kita janjian.”
“Ohh
gitu....” *tuutt tuuutt* dan pulsaku pun habis.
****
Aku
telah sampai di Cafe tempat aku dan Putra Jiwa janjian. Aku juga sudah mengisi
pulsa untuk menelepon Putra, mengabarkan aku sudah sampai. Tapi ternyata apa
yang ada? Hp Putra tidak aktif. Kini aku hanya bisa meyakini kalau Putra akan
datang ke sini. Dia tidak mungkin menipuku atau tiba-tiba dapat insting untuk
membatalkan pembicaraan penting itu padaku.
Hampir
1 jam aku menunggu Putra, dia pun tidak datang juga. Aku akhirnya memutuskan
untuk meninggalkan cafe sebentar untuk melihat-lihat sale baju di toko
seberang. Di situ harapanku sudah mulai dipertanyakan. Kemana Putra? Katanya
sebentar di Rumah Ceria. Aku pun mencoba sms Putra, “Putra, kamu dimana? Kalau
masih di Rumah ceria, aku kesana aja deh yang samper kamu. Aku kan belum pernah
ke Rumah Ceria. Kasih tau alamatnya ya.”
Tak
lama kemudian Putra membalas smsku. “Jangan ya Bunga, Rumah Ceria itu jauh, gak
ada busway yang langsung arah ke sana. Nanti deh, kapan-kapan kamu pasti Putra
ajak ke Rumah Ceria. Sekarang Putra on the way Cafe tempat kita ketemu.”
Secercah harapan kembali tumbuh bagai bunga yang kering disiram air hujan. Aku
memang belum pernah data ke Rumah Ceria, tempat produksi film sekaligus panti
asuhan yang dimiliki oleh KPI. Kemudian aku melanjutkan window shopping sambil
menunggu Putra.
****
“Kamu
dimana Bunga? Putra sudah sampai di Cafe, Putra duduk di meja 21.” Aku langsung
bergegas kembali ke Cafe. Kulihat sesosok laki-laki berjaket hitam duduk di
sana. Itu dia Putra. “Maaf, tadi aku lihat-lihat sale dulu di seberang situ.”
Tersenyum menyambut kehidupan baru. “Iya gak apa-apa Bunga. Duduk, kamu mau
pesan minum atau snack gitu?” rasanya tak sanggup makan, karena kata-kata yang
ingin keluar dari mulutku sungguh terlalu penuh. “Enggak Put, kamu aja. Aku
sudah makan dan minum tadi sama April dan Yulia.” “Aku juga enggak kok Bunga.
Eummm kita langsung aja ya.” “Iya.”
“Kamu
ada rencana buat gabung di KPI gak?” maka bunga-bunga itu bermekaran dan
wanginya memenuhi hidungku yang tadinya sesak oleh rasa penasaran, tebakan
utamaku benar. “Enggak kayaknya tahun ini. Itu sudah menjadi impian yang
terkubur tahun 2013 lalu.” Jawaban pertama untuk melihat apakah aku sedang
bermimpi atau sedang duduk bersamanya. “Itu bukan jadi alasan yang kuat, kalau
itu adalah impian masa lalu kamu.” “Iya Bunga tahu Put.”
“Kamu
kapan habis kontrak dan final film di Flowerland?”
“In
shaa Allah filmnya akan rilis tahun depan Putra. Karena ibu di rumah sudah
menanti aku menjadi sutradara mandiri, membuat film sendiri dan bisa mengangkat
kampung menjadi ide cerita menarik, bukan tergantung di sekolah-sekolah seperti
ini.”
“Iya
Putra tahu kok Bunga. Putra mengerti.”
“Sebenarnya
aku berharap ini disampaikan oleh Mas Rindang tahun lalu. Bunga menanti itu
berbulan-bulan tapi tak kunjung datang. Mas Rindang sibuk mencari anak-anak
Dramaturgiland untuk dinaikan jabatannya. Dia tak lihat Bunga yang menanti
dengan berbagai iklan yang sudah Bunga buat saat itu. Bunga merasa tidak pantas
mendapatkan ini semua tahun ini, hanya 1 iklan yang Bunga buat untuk acara
tahunan KPI tahun ini. Tidak sebanding dengan apa yang Bunga dan Mas Satria
buat tahun kemarin. Tapi apa daya, sekarang yang datang malah Putra, membawa
cinta Bunga yang terkubur hidup-hidup tepat setahun yang lalu.”
****
“Bunga, sibuk gak? Mas telpon kamu
gapapa kan?”
“Gak apa-apa Mas Rindang, Bunga
sedang libur.”
“Ini loh mas mau ngomongin tentang
periklanan. Kira-kira anak dramaturgiland ada yang kamu rekomendasikan untuk
naik jabatan ke KPI gak? Siapa gitu kek, kan anak Dramaturgiland banyak.”
“Gitu ya mas.”
“Iya nih, ada gak?”
“Bunga tanya sama Pak Faiz dan April
dulu ya, mereka berdua banyak kenalan.”
***
“Halo Bunga, gimana udah ada kabar?”
“Ini ada namanya Sanita satu lagi
namanya Hutan.”
“Hutan sama Sanita ya. Kirim
nomornya via sms ya, makasih ya Bunga. Oh ya kalau ada cadangan yang lain juga
ya.”
“Iya Mas Rindang.”
***
“Bunga ini kok Hutan gak bisa
dihubungi ya? Kalau Sanita katanya udah keluar malah. Ada lagi gak yang lain?”
“Oh gitu ya Mas Rindang.”
“Iya nih Bunga. Ada lagi gak Bun?”
“........” kenapa tak kau lihat ada
sekuntum Bunga siap dipinang di sini, Ibu dan Bapak sedang butuh uang banyak,
memang Bunga tak pernah bercerita tentang ini. Tapi Ibu dan Bapak di rumah
sudah menanti Bunga naik jabatan agar bisa menambah-nambah uang untuk membeli
mobil baru. Tapi memang Mas Rindang hanya melihat Dramaturgiland tidak pernah
melihat Bunga.
***
“Kemudian
satu tahun Bunga jalani di Comicland. Tidak jadi naik jabatan ke KPI, Pak Faiz
memilih menempatkan Bunga ke Comicland. Bunga tidak menyangka. Ada jalan lain
menuju sukses, walaupun tidak banyak, jelas Bunga naik gaji di sana dan buat
Bapak Ibu bangga. Walau mereka saat itu berharap Bunga bisa masuk KPI. Bunga
bahagia menemukan keluarga baru di Comicland, ada Bumi. Terus karena masuk
Comicland Bunga jadi berbaikan sama Bumi. Coba kalau tidak, berkelahi lah tiap
hari kami, perang mulut, adu argumen tiada akhir di dalam gedung. Setahun
lamanya Bunga kubur impian untuk naik jabatan ke KPI, mencari pengalaman tak
harus yang tinggi. Mungkin tahun depan Bunga bisa diterima magang di KPI,
merasakan pakai seragam seperti Abimanyu, Prita, Prabu dan yang lainnya. Tapi
tidak, kembali Bunga menjadi aditional tim di event tahunan KPI, ndak dapat
seragam, hanya pakai baju biasa bekerja. Melihat yang lain pakai seragam sejujurnya
Bunga malu, tidak bergaji, namun ikut sama yang bergaji paruh waktu.”
“Iya
Putra mengerti Bunga. Sangat mengerti.”
“Semua
yang Bunga inginkan, Abimanyu miliki. Seragam itu memang tak seberapa harganya,
di pasaran juga banyak. Tapi Bunga tak pernah pakai saat event tahunan KPI,
Bunga hanya pakai dress biasa, dress ala babu-babu istana. Saat Bunga
kebingungan mencari bintang iklan, Abimanyu sudah kesana kemari pakai seragam,
tahun berikutnya saat Bunga kembali pakai baju lusuh, Abimanyu malah jadi tim inti
di event KPI, saat Bunga akan pergi menyusun Film final Bunga, mendapat firasat
kalau Abimanyu akan naik jabatan. Enak kali rasanya jadi dia. Bunga mau seperti
itu, biar legal di mata orang, biar bapak dan ibu senang.”
“Iya
Bunga, tapi Abimanyu tidak bisa naik jabatan ke KPI. Pimpinan dan jajaran
direksi sudah melarang aku untuk menaikan dia ke sini.”kemudian kembali hujan
mengguyur segarnya bunga yang bermekaran di taman luas. Apakah ini yang aku
inginkan? Abimanyu akhirnya tersingkir, tapi bukankah Abimanyu yang paling
mengerti bagaimana Bunga mekar tanpa pupuk, mekar dengan biskuit dan siraman
air limbah?
“Bunga,
jadi?”
“Kamu
pernah baca tulisan Bunga Analogi-analogi atau Potret Kamera?”
“Belum.”
Kemudian
aku menceritakan begitu banyak hal kepada Putra Jiwa. Sampai 1 jam berlalu
hanya dengan ceritaku saja. Aku tak bisa menahan apa yang aku rasakan selama
setahun ini. Akan sulit rasanya diketik oleh laptop.
“Semua
Bunga tulis disitu, kekecewaan, harapan, strategi semua Bunga tumpahkan di sana
apa yang sebenarnya Bunga inginkan. Ilmu yang selama ini Bunga dapat di
Dramaturgiland rasanya ingin cepat-cepat Bunga bagi ke KPI, yang memang tidak
tersampaikan tahun lalu itu.”
“Nanti
kamu akan ditempatkan di periklanan Bunga, seperti yang kamu inginkan selama
ini.”
“Bunga
takut ndak bisa. Karena mimpi itu kan sudah terkubur lama-lama, dan jauh di
dalam. Kenapa Putra bangunkan mimpi Bunga itu?”
“Karena
Putra tahu Bunga bisa dan Bunga punya rencana besar untuk itu semua. Lihat ini,
ini dia. Ini adalah peta KPI. Aku ingin tabloid, majalah, radio, tv KPI
semuanya Bunga yang mengelola.” Bergetar rasanya hati ini mendengarnya, banyak
sekali anugerah terpendam selama 1 tahun bunga menunggu, mengubur dalam-dalam.
“Ini,
pin KPI. Siap Putra kasih ke kamu, kamu bisa pakai ini ke kantor setiap hari.”
Tak
tahu harus bicara apa. Mimpi terbuka lebar di depan mata dengan cahaya yang terpancar
dari wajah Putra Jiwa. Aku ingin mengambil pin itu dan memakainya, sungguh
namun aku takut.
“Terserah
Putra Jiwa saja, mana yang terbaik untuk Bunga. Bunga ceritakan semuanya sudah
sama kamu, Bunga terima apapun keputusan darimu Putra.”
“Genggam
ini Bunga, pin janjiku kamu akan meraih mimpimu, tahun ini.”
Pin
berbentuk hati bergambar lambang KPI, aku menggenggamnya dengan erat. Apakah
aku resmi di KPI? Periklanan?
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar