Sabtu, 04 Januari 2014

Putra Jiwa part 1

Part 1 “Tentang Putra Jiwa”
            Kini dia kembali setelah sekian lama sandiwara cinta di antara kita ber-1, 2, 3, 4 atau 10? Aku pun tak dapat menghitungnya. Kukira dia sudah benar-benar pergi. Kututup kisah itu dengan sebuah cerita “Analogi-Analogi” dan “Potret Kamera” berharap semua akan baik-baik saja namun ternyata prosesnya lama juga kurasa.
            Persilatan tak berhenti sampai Alicia memaafkan aku dan aku memberi ucapan selamat ulang tahun padanya. Namun persoalannya kini mengarah padaku, ingat persoalan bukan permasalahan. Dia datang dengan membawa seribu bunga seribu mawar dan melati begitu indahnya, membuatku tersipu malu, membuatku gugup dengan pipi merah merona. “Aku ingin bertemu denganmu, ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan, Bunga.” Terserah orang mau bilang apa, rasanya sudah besar rasa, kau pasti akan kembali menghantui untuk mempertanyakan bagiannya yang hilang.
            “Iya aku bisa, kapanpun kau bisa, maka aku pun bersedia.” Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Segala yang akan aku berikan untuknya sebagai sebuah jawaban terbaik dariku, dengan fakta-fakta yang pernah aku alami rentang waktu 2012 ke 2013.

***
            Pertemuan kami pun tak selancar niatannya untuk mengajakku bicara serius. Dunia memutar-mutarkan kami dahulu. “Kita di sini sampe jam berapa Pril?” tanyaku. “Emang kenapa Bun?” April malah nanya balik dan aku sedikit gugup menjawabnya. “Aku ada janji sama klien, hehe.” “Jam berapa Bun?” jawabanku makin tidak karuan. “Terserah gue kok, jadi gue ikut kalian aja. Klien gue yang satu ini kapan aja bisa. Dia yang ikutin waktu gue.” Jawaban yang membuat kedua kening temanku itu berkerut, April dan Yulia.
            “Siapa sih Bun?” Yulia mulai kepo.
            “Ada lah. Klien orang Bandung.”
            “Jauh dong ke Jakarta Bun.” April malah makin menambahkan.
            “Iya lumayan. Eh iya, katanya lo mau ngurus surat training tingkat 3 lo. Lo mau ke kantor kan. Mending sekarang lo pulang aja, ngeprint surat. Kantor jam 3 tutup loh kalau masa liburan gini” secara tidak langsung aku memang ingin cepat bertemu dengannya, mendengar apa yang ingin dia bicarakan padaku.
            “Bener juga lo. Yaudah kita pisah di sini ya. Daaa Bunga.”
            “Iyaaa daaa, hati-hati ya kalian.”
****
            “Halo, Putra.....” aku langsung menelepon Putra dan ingin mengatakan kalau aku sudah bisa menemuinya di tempat yang sudah dijanjikan.
            “Bunga, aku lagi di Rumah Ceria. Sebentar aja kok, sesudah itu aku langsung ke Cafe tempat kita janjian.”
            “Ohh gitu....” *tuutt tuuutt* dan pulsaku pun habis.
****
            Aku telah sampai di Cafe tempat aku dan Putra Jiwa janjian. Aku juga sudah mengisi pulsa untuk menelepon Putra, mengabarkan aku sudah sampai. Tapi ternyata apa yang ada? Hp Putra tidak aktif. Kini aku hanya bisa meyakini kalau Putra akan datang ke sini. Dia tidak mungkin menipuku atau tiba-tiba dapat insting untuk membatalkan pembicaraan penting itu padaku.
            Hampir 1 jam aku menunggu Putra, dia pun tidak datang juga. Aku akhirnya memutuskan untuk meninggalkan cafe sebentar untuk melihat-lihat sale baju di toko seberang. Di situ harapanku sudah mulai dipertanyakan. Kemana Putra? Katanya sebentar di Rumah Ceria. Aku pun mencoba sms Putra, “Putra, kamu dimana? Kalau masih di Rumah ceria, aku kesana aja deh yang samper kamu. Aku kan belum pernah ke Rumah Ceria. Kasih tau alamatnya ya.”
            Tak lama kemudian Putra membalas smsku. “Jangan ya Bunga, Rumah Ceria itu jauh, gak ada busway yang langsung arah ke sana. Nanti deh, kapan-kapan kamu pasti Putra ajak ke Rumah Ceria. Sekarang Putra on the way Cafe tempat kita ketemu.” Secercah harapan kembali tumbuh bagai bunga yang kering disiram air hujan. Aku memang belum pernah data ke Rumah Ceria, tempat produksi film sekaligus panti asuhan yang dimiliki oleh KPI. Kemudian aku melanjutkan window shopping sambil menunggu Putra.
****
            “Kamu dimana Bunga? Putra sudah sampai di Cafe, Putra duduk di meja 21.” Aku langsung bergegas kembali ke Cafe. Kulihat sesosok laki-laki berjaket hitam duduk di sana. Itu dia Putra. “Maaf, tadi aku lihat-lihat sale dulu di seberang situ.” Tersenyum menyambut kehidupan baru. “Iya gak apa-apa Bunga. Duduk, kamu mau pesan minum atau snack gitu?” rasanya tak sanggup makan, karena kata-kata yang ingin keluar dari mulutku sungguh terlalu penuh. “Enggak Put, kamu aja. Aku sudah makan dan minum tadi sama April dan Yulia.” “Aku juga enggak kok Bunga. Eummm kita langsung aja ya.” “Iya.”
            “Kamu ada rencana buat gabung di KPI gak?” maka bunga-bunga itu bermekaran dan wanginya memenuhi hidungku yang tadinya sesak oleh rasa penasaran, tebakan utamaku benar. “Enggak kayaknya tahun ini. Itu sudah menjadi impian yang terkubur tahun 2013 lalu.” Jawaban pertama untuk melihat apakah aku sedang bermimpi atau sedang duduk bersamanya. “Itu bukan jadi alasan yang kuat, kalau itu adalah impian masa lalu kamu.” “Iya Bunga tahu Put.”
            “Kamu kapan habis kontrak dan final film di Flowerland?”
            “In shaa Allah filmnya akan rilis tahun depan Putra. Karena ibu di rumah sudah menanti aku menjadi sutradara mandiri, membuat film sendiri dan bisa mengangkat kampung menjadi ide cerita menarik, bukan tergantung di sekolah-sekolah seperti ini.”
            “Iya Putra tahu kok Bunga. Putra mengerti.”
            “Sebenarnya aku berharap ini disampaikan oleh Mas Rindang tahun lalu. Bunga menanti itu berbulan-bulan tapi tak kunjung datang. Mas Rindang sibuk mencari anak-anak Dramaturgiland untuk dinaikan jabatannya. Dia tak lihat Bunga yang menanti dengan berbagai iklan yang sudah Bunga buat saat itu. Bunga merasa tidak pantas mendapatkan ini semua tahun ini, hanya 1 iklan yang Bunga buat untuk acara tahunan KPI tahun ini. Tidak sebanding dengan apa yang Bunga dan Mas Satria buat tahun kemarin. Tapi apa daya, sekarang yang datang malah Putra, membawa cinta Bunga yang terkubur hidup-hidup tepat setahun yang lalu.”
****
            “Bunga, sibuk gak? Mas telpon kamu gapapa kan?”
            “Gak apa-apa Mas Rindang, Bunga sedang libur.”
            “Ini loh mas mau ngomongin tentang periklanan. Kira-kira anak dramaturgiland ada yang kamu rekomendasikan untuk naik jabatan ke KPI gak? Siapa gitu kek, kan anak Dramaturgiland banyak.”
            “Gitu ya mas.”
            “Iya nih, ada gak?”
            “Bunga tanya sama Pak Faiz dan April dulu ya, mereka berdua banyak kenalan.”
***
            “Halo Bunga, gimana udah ada kabar?”
            “Ini ada namanya Sanita satu lagi namanya Hutan.”
            “Hutan sama Sanita ya. Kirim nomornya via sms ya, makasih ya Bunga. Oh ya kalau ada cadangan yang lain juga ya.”
            “Iya Mas Rindang.”
***
            “Bunga ini kok Hutan gak bisa dihubungi ya? Kalau Sanita katanya udah keluar malah. Ada lagi gak yang lain?”
            “Oh gitu ya Mas Rindang.”
            “Iya nih Bunga. Ada lagi gak Bun?”
            “........” kenapa tak kau lihat ada sekuntum Bunga siap dipinang di sini, Ibu dan Bapak sedang butuh uang banyak, memang Bunga tak pernah bercerita tentang ini. Tapi Ibu dan Bapak di rumah sudah menanti Bunga naik jabatan agar bisa menambah-nambah uang untuk membeli mobil baru. Tapi memang Mas Rindang hanya melihat Dramaturgiland tidak pernah melihat Bunga.
***
            “Kemudian satu tahun Bunga jalani di Comicland. Tidak jadi naik jabatan ke KPI, Pak Faiz memilih menempatkan Bunga ke Comicland. Bunga tidak menyangka. Ada jalan lain menuju sukses, walaupun tidak banyak, jelas Bunga naik gaji di sana dan buat Bapak Ibu bangga. Walau mereka saat itu berharap Bunga bisa masuk KPI. Bunga bahagia menemukan keluarga baru di Comicland, ada Bumi. Terus karena masuk Comicland Bunga jadi berbaikan sama Bumi. Coba kalau tidak, berkelahi lah tiap hari kami, perang mulut, adu argumen tiada akhir di dalam gedung. Setahun lamanya Bunga kubur impian untuk naik jabatan ke KPI, mencari pengalaman tak harus yang tinggi. Mungkin tahun depan Bunga bisa diterima magang di KPI, merasakan pakai seragam seperti Abimanyu, Prita, Prabu dan yang lainnya. Tapi tidak, kembali Bunga menjadi aditional tim di event tahunan KPI, ndak dapat seragam, hanya pakai baju biasa bekerja. Melihat yang lain pakai seragam sejujurnya Bunga malu, tidak bergaji, namun ikut sama yang bergaji paruh waktu.”
            “Iya Putra mengerti Bunga. Sangat mengerti.”
            “Semua yang Bunga inginkan, Abimanyu miliki. Seragam itu memang tak seberapa harganya, di pasaran juga banyak. Tapi Bunga tak pernah pakai saat event tahunan KPI, Bunga hanya pakai dress biasa, dress ala babu-babu istana. Saat Bunga kebingungan mencari bintang iklan, Abimanyu sudah kesana kemari pakai seragam, tahun berikutnya saat Bunga kembali pakai baju lusuh, Abimanyu malah jadi tim inti di event KPI, saat Bunga akan pergi menyusun Film final Bunga, mendapat firasat kalau Abimanyu akan naik jabatan. Enak kali rasanya jadi dia. Bunga mau seperti itu, biar legal di mata orang, biar bapak dan ibu senang.”
            “Iya Bunga, tapi Abimanyu tidak bisa naik jabatan ke KPI. Pimpinan dan jajaran direksi sudah melarang aku untuk menaikan dia ke sini.”kemudian kembali hujan mengguyur segarnya bunga yang bermekaran di taman luas. Apakah ini yang aku inginkan? Abimanyu akhirnya tersingkir, tapi bukankah Abimanyu yang paling mengerti bagaimana Bunga mekar tanpa pupuk, mekar dengan biskuit dan siraman air limbah?
            “Bunga, jadi?”
            “Kamu pernah baca tulisan Bunga Analogi-analogi atau Potret Kamera?”
            “Belum.”
            Kemudian aku menceritakan begitu banyak hal kepada Putra Jiwa. Sampai 1 jam berlalu hanya dengan ceritaku saja. Aku tak bisa menahan apa yang aku rasakan selama setahun ini. Akan sulit rasanya diketik oleh laptop.
            “Semua Bunga tulis disitu, kekecewaan, harapan, strategi semua Bunga tumpahkan di sana apa yang sebenarnya Bunga inginkan. Ilmu yang selama ini Bunga dapat di Dramaturgiland rasanya ingin cepat-cepat Bunga bagi ke KPI, yang memang tidak tersampaikan tahun lalu itu.”
            “Nanti kamu akan ditempatkan di periklanan Bunga, seperti yang kamu inginkan selama ini.”
            “Bunga takut ndak bisa. Karena mimpi itu kan sudah terkubur lama-lama, dan jauh di dalam. Kenapa Putra bangunkan mimpi Bunga itu?”
            “Karena Putra tahu Bunga bisa dan Bunga punya rencana besar untuk itu semua. Lihat ini, ini dia. Ini adalah peta KPI. Aku ingin tabloid, majalah, radio, tv KPI semuanya Bunga yang mengelola.” Bergetar rasanya hati ini mendengarnya, banyak sekali anugerah terpendam selama 1 tahun bunga menunggu, mengubur dalam-dalam.
            “Ini, pin KPI. Siap Putra kasih ke kamu, kamu bisa pakai ini ke kantor setiap hari.”
            Tak tahu harus bicara apa. Mimpi terbuka lebar di depan mata dengan cahaya yang terpancar dari wajah Putra Jiwa. Aku ingin mengambil pin itu dan memakainya, sungguh namun aku takut.
            “Terserah Putra Jiwa saja, mana yang terbaik untuk Bunga. Bunga ceritakan semuanya sudah sama kamu, Bunga terima apapun keputusan darimu Putra.”
            “Genggam ini Bunga, pin janjiku kamu akan meraih mimpimu, tahun ini.”
            Pin berbentuk hati bergambar lambang KPI, aku menggenggamnya dengan erat. Apakah aku resmi di KPI? Periklanan?
bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar