Sabtu, 04 Januari 2014

Putra Jiwa part 1

Part 1 “Tentang Putra Jiwa”
            Kini dia kembali setelah sekian lama sandiwara cinta di antara kita ber-1, 2, 3, 4 atau 10? Aku pun tak dapat menghitungnya. Kukira dia sudah benar-benar pergi. Kututup kisah itu dengan sebuah cerita “Analogi-Analogi” dan “Potret Kamera” berharap semua akan baik-baik saja namun ternyata prosesnya lama juga kurasa.
            Persilatan tak berhenti sampai Alicia memaafkan aku dan aku memberi ucapan selamat ulang tahun padanya. Namun persoalannya kini mengarah padaku, ingat persoalan bukan permasalahan. Dia datang dengan membawa seribu bunga seribu mawar dan melati begitu indahnya, membuatku tersipu malu, membuatku gugup dengan pipi merah merona. “Aku ingin bertemu denganmu, ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan, Bunga.” Terserah orang mau bilang apa, rasanya sudah besar rasa, kau pasti akan kembali menghantui untuk mempertanyakan bagiannya yang hilang.
            “Iya aku bisa, kapanpun kau bisa, maka aku pun bersedia.” Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Segala yang akan aku berikan untuknya sebagai sebuah jawaban terbaik dariku, dengan fakta-fakta yang pernah aku alami rentang waktu 2012 ke 2013.

Senin, 23 Desember 2013

Teduh yang Riang


(Teduh yang Riang)

                Aku mengenalmu dalam kesunyian, dalam kediaman tanpa kebisuan. Aku mengenalmu dalam ketidakpastian, dalam kebimbangan tentang banyak orang, aku tidak fokus hingga aku tak sadar di sana ada kamu. Saat itu aku sedang terbang tinggi dibawa oleh malaikat-malaikat negarawan, dipimpin oleh dua kawanan perang yang tampan bernama Pangeran Negawarawan dan Rekannya.
                Tempat dimana aku mengenalmu benar-benar tak kupikirkan. Malam itu dunia sunyi seakan untukmu sendiri dan untukku sendiri. Aku tak peduli ada engkau, engkau tak memikirkan ada aku. Seperti bintang yang tak ingin mengelilingi bulan dan  bulan bisa berdiri sendiri dengan kokohnya. Sampai suatu pagi aku mengenal dirimu.
                Aku lelah bermain di masa lalu, aku sedih menengok ke masa silam. Yang kutahu sekarang kau adalah teduh yang riang, bercampur aduk dengan kawanan perang, membunuhku secara diam-diam. Dengan berat hati, aku mengucapkan selamat berbahagia, salam kebahagiaan untuk gemercik hujan lengkap dengan teduhnya, aku hanya bisa melihat dari jauh dengan pengharapan kosong.

Selasa, 26 November 2013

Analogi-Analogi (Potret Kamera)

“Ini kisah tentang keinginan yang membutuhkan pemahaman bukan sekadar pengertian.”
“Karena aku ingin mencari jalan pulang, kembali ke jatidiri yang sesungguhnya, penuh ketulusan dan keikhlasan untuk Tuhan.”
“Aku memang tidak biasa, aku aneh, dan tak semua sadar akan itu. Aku bukanlah orang yang ingin menyia-nyiakan kesempatan, meski aku telah terjebak dalam keserakahan. Aku berusaha untuk kembali tulus, demi mengeja satu per satu masalah yang tidak pernah ada habisnya.”

***
Jakarta, 2013
“Intan...Intan....” aku memanggilnya dengan penuh kasih sayang.
“Iya tante..” tak lama kemudian anak itu datang.
“Intan, tante boleh pinjem kamera Intan yaa. Soalnya kamera tante lagi dipinjem sama Mas Arif buat acara kantornya, dan tante sekarang lagi butuh soalnya temen tante, Yulia mau resepsi, terus dia mau mama fotoin pasca weddingnya.”
“Maaf tante, kamera Intan lagi dipinjem sama temen.” Dia berkata seakan takut aku marahi.
“Sama siapa? Kira-kira bisa aku ambil gak, tante gak enak sama Yulia. Boleh yaaa. Tante udah bilang kok ke mama kamu kalau tante emang mau pinjem, dan pinjemnya bayar loh hehehe” Aku setengah memohon, aku tak pernah bisa melepas kamera siapapun itu meski bukan milikku.
“Yaudah nanti aku minta Iqbal buat balikin deh.” Jawab Intan dengan yakin.
“Iqbal? Nama temen Intan itu Iqbal? Siapa dia? Tumben nih kamu udah jarang cerita sama tante, biasanya kamu selalu cerita kalau punya temen baru.” Entah mengapa aku merasa punya ketertarikan sendiri dengan anak yang bernama Iqbal itu.
“Iya tan maaf lupa, jadi Iqbal itu temen aku beda fakultas sih, dia itu anak MIPA ma. Nama panjangnya Muhammad Iqbal Dzulqornain, bapaknya ustadz ma sering ngisi di masid deket rumahnya. Dia anaknya baik, makanya aku mau minjemin kamera ke dia.”
            Aku hanya terdiam membisu mendengar cerita tentang Iqbal. Aku merasa pernah mendengar namanya, tapi di mana ya? Aku pun lupa. Tapi entah kenapa aku merasa makin penasaran dengan anak itu.
“Tan...?”
“Iya sayang. Oh iya kamu tau nama ayahnya?”
“Tante nih kayak mau lamaran aja sampe harus tau nama ayah, hehehe. Tapi aku tahu kok nama ayahnya Iqbal. Namanya Ustadz Abimanyu.”
            Abimanyu, apakah abimanyu yang itu ya?

Senin, 25 November 2013

Analogi Analogi

"Hari ini kamu udah belajar jadi mereka" |
Aku hanya terdiam.
"Enak kan jadi mereka, bisa manfaatin orang seenak udelnya" |
Aku tambah terdiam.
"Ingat gak dulu pas kamu masih jadi babu-babu istana, kayaknya jumawa banget gitu belain anaknya supaya gak ikut jadi babu juga. Sekarang malah mau jual apa yang temen-temen lo punya buat kesuksesan istana"|
Lalu aku teringat sesuatu

***

"Gue bukan babu-babu istana kayak mereka" | "Mereka? Yang babu istana itu elo, mereka mah tonggak istana, tonggak yang pengen banget lo dapetin" | kemudian aku diam sambil menyadari sesungguhnya akulah yang babu-babu istana.

***

"Ingat dulu pas lo gak rela kalau anak lo nari untuk mereka??"

***

"Nanti malem alicia gak boleh nari lagi, cukup gue yang rela ngebabu di sana tanpa sepeser pun penglihatan, karena dari dulu gue cuma babu."

***

"Hari ini lo ngerasain jadi mereka kan, bahkan lo lebih kejam, terlalu sok mengedepankan idealisme"|
Aku masih terdiam
"Lo tuh serakah, mau menang sendiri. Lo tu pamrih, gak tulus, liat tuh yang lain mereka apa adanya bersuara tanpa embel-embel kayak lo"
"Sinis banget lo tadi ngeliat Prita, segitu dendamnya sama wanita cantik yang lo kira abimanyu lebih milih dia"|
"Cukup...." Aku menggagas.
"Gue emang serakah, gue emang jahat. Gue salah hari ini." Aku tak bisa menangis.

"Aku hanya babu-babu istana yang aku yakin sampai kapanpun takkan pernah mendapat tonggaknya, bahkan orang lain yang cuma ngebabu sekali udah bisa jadi tonggak, bahkan dia nolak jadi tonggak. Aku hanya manusia yang terus berusaha lewat per-babu-an ini bergerak bukan untuk mendapatkan tonggak karena itu salah. Aku ingin istana hidup, tidak mati. Maafkan aku, jika hari ini banyak saudaraku yang tersakiti. Aku memang babu kurang ajar, mungkin ini alasannya aku tidak akan pernah jadi tonggak sampai kapanpun. Aku minta maaf."

"Untuk menjadi pahlawan, semua punya pilihan, mau dengan pengorbanan yang menyakitkan atau keberanian yang berlandaskan pemikiran." |
"Aku juga dulu melakukan hal yang sama, aku pergi ke atas meninggalkan kebabuan ini, aku pergi padahal seharusnya aku bisa makan malam dengan para raja, namun kutukar semua keindahan itu dengan pengorbanan yang jauh lebih indah. Kutukar semuanya karena kuletakkan diriku di sanubari mereka, apa yang mereka kerjakan bersama usahaku maka aku ada di sana."
"Sekarang mungkin saatnya kalian yang belajar, bukan belajar menjadi aku, tapi ini hanya secuil ujian apakah aku benar-benar tulus saat itu, saat ini. Maafkan jika banyak hati yang tergores keegoisanku hari ini. Mungkin posisi babu-babu istana memuncak tahun ini."

Jatinangor - Unpad
25/11/2013

Minggu, 29 September 2013

Astronaut in Summer Paradise

            Pagi ini aku sibuk membolak-balik kalender, menghitung hari demi hari menjelang promo film “Kambing Mak Ijah”. Dramatrgiland kali ini kembali mendapat kepercayaan untuk membuat sequel film “Sapiku Lebih Sopan”, namun tahun ini sequel filmnya berganti judul yakni “Kambing Mak Ijah”. Ya kami memang sengaja memanfaatkan momen idul adha yang sebentar lagi akan terlaksana. “Mmmm rilis tanggal segini, terus gimana kalau, aduhhhh,zzzztt” aku bergumam taka da juntrungannya, kemudian aku mencoba menghubungi produser utama “Sapiku Lebih Sopan” ya saiap lagi kalau bukan Pak Andika.
“Halo pak.” Aku berkata dengan lemas.
“Iya Khaira.” Haaah di saat mau hopeless gini Pak Andikanya juga lemes.
“Pak saya mau nanya sesuatu tentang KMI.” KMI ini singkatang dari Kambing Mak Ijah yaah biar simple gitu deh.
“KMI? Ya gimana? Itu mall yang mau kita jadiin tempat presscon udah pada ditag belum, atau yang kemarin kita hubungi kerja sama udah ada feedback belum?”
“Nah itu dia pak yangmau saya tanyain ke apak, jadi gini……..”
            Maka aku dan Pak Andika berbicara panjang lebar di telpon mengenai film KMI ini, aku menceritakan semua kesulitan-kesulitan yang kualami selama produksi film ini. Film bernuansa kurban komedi seperti ini memang laris dari dramaturgiland setiap tahunnya, dan tahun ini giliranku yang menjadi sutradara dalam film ini, ternyata menjadi sutradara juga ikut merasakan pusingnya kalau promosi belum jalan dengan mulus, meski bukan tugasku entah mengapa, mungkin aku begitu masih mencintai dramaturgiland ini.
“Nah sudah mengerti ya, jadi kamu langsung tag aja mall nya, dan iklannya langsung aja, pokoknya buat promosi gak usah nunggu hal-hal kecil macam kayak yang tadi kamu bilang lah, promosi itu penting Ra.” Ujar Pak Andika dengan nadanya yang seperti biasa, terkesan menggurui, sok pintar, huhhh ya tapi Pak Andika memang pintar, sudahlah.
“Iya pak terimakasih atas arahannya ya pak, saya mengerti.”
“Ya yaudah, semangat ya Khaira Bunga.”
“Terima kasih pak, saya gak tau lagi kalau gak ada bapak hahahaha.”
“Ahhh kamu nih.”
****
            Siang itu tanpa babibu aku langsung menuju tempat-tempat yang memang harus kukunjungi saat itu untuk mengurus promosi dan iklan film KMI. Namun kendala yang mungkin agak besar muncul dari arah sini, “Ohhh biayanya segitu ya pak? Itu memang sudah sama event organizer dan percetakan, kaos dan segala macam ya pak?” tanyaku mulai melemas mendengar nominal yang agak bombastis. “Ya begitu mbak Bunga, gimana mbak? Itu sudah harga persahabatan kita sama dramaturgiland loh mbak, kan sering juga di sini. Comicland juga sering di sini kok mbak.” Aku hanya bengong mendengar kalimat persuasifnya itu. “Saya mau nelpon dulu ya mas, tunggu bentar.”
            Bagaimana ini, mana dari kemarin orang divisi keuangan suah banget dihubungi, staffnya pada gak ada di kantor, kepala divisnya juga lagi keluar kota, sakit sakit aku mulai panik dengan semua ini. Parahnya lagi aku menelepon ruangan kantor, kadiv juga gak pada ada yang angkat. Aku terus mencoba menghubungi mereka semua, April, Mbak Mutiara, kalau perlu Mas Maman juga deh kan kemarin dia sempet ngurusin keuangan di konser Nuggie.
“Halo, April.”
“Ya kenapa Bun?”
“Pril, kemarin kan dana Konser Nuggie surplus ya, itu kamu udah serahin ke keuangan belum? Soalnya aku butuh nih buat KMI, kamu bisa transfer atau gimana lah caranya??”

Jumat, 23 Agustus 2013

Tentang Langit 1



Tentang Langit
tukang lampu istana

Tentang langit aku pernah bertanya, “kamu paham kenapa semua jadi begini?” kemudian ia menjawabnya dengan “iya, mereka masih butuh belajar tapi aku pun juga butuh belajar.” Banyak sekali tentang tentang langit yang ada antara kita, baik kita berdua, bertiga atau berempat, tidak pernah banyak orang. Karena hanya sedikit orang yang bisa menembus tingginya langit biru. Bukan berarti kami paling suci. Tapi hanya saja kami berani membiarkan dia melayang tinggi sekali sangat tinggi sampai menembus langit. Makanya aku namai tulisan ini tentang langit.

***
Tentang langit kami pernah berbincang entah ketika kapan? Saat itu sepertinya random. Ada kau, aku, rekan 1, rekan 2, pembantu bintang, pendaki bulan dan banyak lagi aku lupa. Karena di sini hanya ingin mengingat-ingat apa yang tentang langit bahas. Tentang langit, suatu ketika kau pernah berkata dengan candamu yang mengerutkan kulit-kulit di sekitar wajahmu dan aku mengenalnya. “sudahlah, rasanya bosan menggunakan masing-masing obor untuk menyalakan setiap ruangan yang ada. Mati satu yang lainnya gelap, kemudian terang. Mengapa tidak kita jadikan lampu saja.” Aku hanya tersenyum mendengar kata lampu.
“Lampu. Bisa saja kamu. Aku masih ingin menikmati keindahan redup hilang obor istana ini.”

Selasa, 30 Juli 2013

Kinno (sepenggal kisah di Jakarta)

                Sekarang aku sudah masuk di tahun ketiga. Dramaturgiland dan Comicland 2 buah keluarga yang sangat kucintai. “Ngurus surat pelatihan ya Bun?” tanya seorang pegawai. “Iya nih, Alhamdulillah.” Jawabku santai. “Ngebut nih ya, biar cepet bikin film.” Ledeknya. “Biasa aja kok. Duluan ya.”
                Secarik percakapan di Dramaturgiland, karena aku sudah tahun ketiga di rumah produksi ini maka aku sudah bisa ikut pelatihan khusus pengurus tahun ketiga untuk bisa membuat projek film sendiri. “Bun, jadi ngambil pelatihan tahun ini?” tiba-tiba april sudah jalan aja di sampingku. “Iya nih, udah daftar yang di Jakarta.” Jawabku. “Widiiiuuu jauh aja, kenapa gak yang di bandung? Kan kantor kita di Bandung. Biar bisa pulang balik ngurus projek film gue.”
“Enggak deh Pril, aku di Jakarta aja, biar ganti suasana.”
“Lo ngambil yang berapa lama Bun?”
“Sebulan aja, kan ada paket 1 bulan kalo pengurus di comicland.”
“Oh iya gue lupa kalo lo juga di comicland ya sekarang. Cieeeh beda deh kalo di induk sama anak disikat semua. Yaudah gue mau ke lapangan dulu nih, ngecek anak-anak.”
“Daaa April.”
“Daaa Bun.”