Selasa, 26 November 2013

Analogi-Analogi (Potret Kamera)

“Ini kisah tentang keinginan yang membutuhkan pemahaman bukan sekadar pengertian.”
“Karena aku ingin mencari jalan pulang, kembali ke jatidiri yang sesungguhnya, penuh ketulusan dan keikhlasan untuk Tuhan.”
“Aku memang tidak biasa, aku aneh, dan tak semua sadar akan itu. Aku bukanlah orang yang ingin menyia-nyiakan kesempatan, meski aku telah terjebak dalam keserakahan. Aku berusaha untuk kembali tulus, demi mengeja satu per satu masalah yang tidak pernah ada habisnya.”

***
Jakarta, 2013
“Intan...Intan....” aku memanggilnya dengan penuh kasih sayang.
“Iya tante..” tak lama kemudian anak itu datang.
“Intan, tante boleh pinjem kamera Intan yaa. Soalnya kamera tante lagi dipinjem sama Mas Arif buat acara kantornya, dan tante sekarang lagi butuh soalnya temen tante, Yulia mau resepsi, terus dia mau mama fotoin pasca weddingnya.”
“Maaf tante, kamera Intan lagi dipinjem sama temen.” Dia berkata seakan takut aku marahi.
“Sama siapa? Kira-kira bisa aku ambil gak, tante gak enak sama Yulia. Boleh yaaa. Tante udah bilang kok ke mama kamu kalau tante emang mau pinjem, dan pinjemnya bayar loh hehehe” Aku setengah memohon, aku tak pernah bisa melepas kamera siapapun itu meski bukan milikku.
“Yaudah nanti aku minta Iqbal buat balikin deh.” Jawab Intan dengan yakin.
“Iqbal? Nama temen Intan itu Iqbal? Siapa dia? Tumben nih kamu udah jarang cerita sama tante, biasanya kamu selalu cerita kalau punya temen baru.” Entah mengapa aku merasa punya ketertarikan sendiri dengan anak yang bernama Iqbal itu.
“Iya tan maaf lupa, jadi Iqbal itu temen aku beda fakultas sih, dia itu anak MIPA ma. Nama panjangnya Muhammad Iqbal Dzulqornain, bapaknya ustadz ma sering ngisi di masid deket rumahnya. Dia anaknya baik, makanya aku mau minjemin kamera ke dia.”
            Aku hanya terdiam membisu mendengar cerita tentang Iqbal. Aku merasa pernah mendengar namanya, tapi di mana ya? Aku pun lupa. Tapi entah kenapa aku merasa makin penasaran dengan anak itu.
“Tan...?”
“Iya sayang. Oh iya kamu tau nama ayahnya?”
“Tante nih kayak mau lamaran aja sampe harus tau nama ayah, hehehe. Tapi aku tahu kok nama ayahnya Iqbal. Namanya Ustadz Abimanyu.”
            Abimanyu, apakah abimanyu yang itu ya?

Bandung, 2008
“Bunga ini uangnya.”
“Abimanyu makasih banyak ya, aku gak tahu harus bilang apa. Ini berguna banget mas buat aku, makasih udah nolong aku.”
“Sama-sama Bunga, oh ya kamu besok datang ke seminar kan?”
“Seminar ya?”
“Iyaaa, kamu gak lupa kan Bun, besok kan ada seminar film horror, hiiii hakikat film horror sebenarnya. Aku jadi moderator, Bunga.”

Jakarta, 2013
            “Tan aku berangkat yaa, mau ambil kamera di Iqbal.” Suara Intan memecah lamunanku. “Tante ikut yaa, mama anterin aja.” “Yuk.”
***
            Perjalanan menuju rumah Iqbal ternyata cukup jauh. Rasa penasaran ini makin menjadi-jadi, apakah itu benar Abimanyu yang itu, kalau iya berarti dia sekarang sudah menikah dan punya anak tapi kok anaknya gede banget, perasaan dulu sama-sama lulus 2009 kok anaknya udah kuliah. Mungkin bukan Abimanyu yang itu.
            “Nah tante, udah sampai. Ini rumah Iqbal.”
            Aku melihat ke sekeliling rumah itu. Rumah yang tampak begitu asri, banyak tanaman, sepertinya kalau abi memang sudah menikah pasti istrinya adalah seseorang yang sangat rajin. “Om Abi.....” Intan memanggil nama itu dan kemudian seseorang menegok karena panggilannya. Aku terkejut. Abimanyu...
            “Intan....”
            “Om Abi, Iqbalnya ada? Oiia om aku kesini sama tante aku, kenalin ini namanya Tante Bunga. Tante ini Ustadz Abimanyu yang aku ceritain itu.” Intan begitu polos mengenalkan kami, sedangkan aku dan lelaki itu sama-sama terdiam. Masih terdiam.
            “Om maaf ya kamera yang kemarin aku pinjemin ke Iqbal mau aku ambil lagi, sehari aja, Iqbal kan masih pakenya 2 hari lagi, soalnya tante Bunga mau pake buat foto pascawedding temennya.” Aku masih terdiam dan di sini aku merasa sangat kotor, bahkan aku malu menatap dunia dan menatap Abimanyu sekalipun.
            “Bunga.....” Abimanyu memanggil namaku, sungguh hati ini sakit sekali rasanya, karena kotornya diriku, aku malu menatap dunia, ini tak mungkin terjadi. Badanku bergetar, tanganku dingin, aku hanya menunduk bagai siswa yang sedang diplonco, aku malu sama Abi, aku malu sama Intan dan aku sangat malu sama Iqbal.

Bandung, 2007
            Menikmati indahnya dunia kampus, ya itu aku. Aku merasa muda, proaktif, aku bisa melakukan segalanya apapun yang bisa mengembangkan diriku menjadi lebih baik. Tak kusangka, aku pun ditawari sebuah projek yang bagiku akan lebih mengembangkan diriku lagi. Yaa pada malam itu seorang teman datang kepadaku dan mulai malam itu semuanya berubah.
“Ya jadi gitu Bunga, inti dari projek Creative Campus ini adalah kita punya apa dan kita bertarung di masa pameran dan puncaknya award, dan lo udah tau kan projek kita ada kajian ilmiah sersan serius tapi santai, pengabdian masyarakat berkala berbasis persaudaraan, sana sini seni dan yaa yang kayak tadi udah gue jelasin. Gimana?” papar temanku panjaaaang lebar.
“Terus gimana caranya kita, biar buat orang mau dateng ke pameran? Soalnya kan kalo publikasi biasa kayaknya kurang deh. Gimana kalau kita bikin video klip aja, atau lagu yah lagu kita cover lagu aja gimana?” ideku pun mulai nakal, menggeliat kemana-mana menembus awan dan yaa gila seperti biasanya.
“Nah itu dia Bun, itu gue serahin sama lo. Nanti kita jalan sama-sama lo butuh apa nanti kita yang sediain yang penting kita bisa mengusung projek kita ini biar menang dan nantinya dapet dana.”
            Ya semester 5, membuatku semakin merasa jadi mahasiswa dimana-mana. Terutama dengan keterlibatanku dengan projek ini. Projek ini begitu menyenangkan, aku memegang kendali semuanya, aku butuh apa mereka semua yang penuhi. “Halo Laila, nanti sore kan aku mau shooting aku butuh property yang udah aku emailin semalem.” | “Iya beres deh Bunga, udah semua kok ada di Satria sama tim yang lain. Oke?” | “Oke La...”
***
“La, kameranya mana? Aku mulai shooting sekarang nih mumpung cahayanya terang, lumayan.” Kemudian Laila memberiku sebuah tas berisi handycam. “Bunga, ini kameranya di lo dulu aja, sampai projek kita selesai.?” “Beneran nih La?” “Iya tapi lo janji, tiap kita pameran lo musti ikut dan lo harus selesain semua bagian lo, shooting apa dan segala macam.” Aku begitu terpesona dengan kepanitiaan peserta Creative Campus versi Laila, dia dan teman-temannya begitu men-service kami simpatisan yang mau membantu. Salut deh.
“Bun....!” teriak Satria dari jauh.
“Satria...”
“Ini yaa property nya gue taroh sini, ada lagi gak yang perlu gue bantu?”
“Udah udah taro situ aja, makasih yaa. Oia yang bakal mau ikut shooting siapa lagi, katanya lo mau bawa temen.”
“Iya bun tenang, lagi otw ke sini mereka, sabar yah.”
Aku nyaman, aku bahagia dan aku senang, alu dapat mengembangkan banyak ide di sini. Laila, Satria, Eni, Rifi dan masih banyak lagi semuanya baik, semuanya mengejar deadline dan mereka bertanggung jawab atas yang mereka gariskan, dan kamera ini aku merasa seperti hak milik pada kamera ini.
***
“Halo Bunga, siang ini lo bisa ke Jatinangor kan buat sesi pameran di sana?”
“Oh iya-iya bisa La, oia stand mic buat perform anak-anak di Jatinangor udah ada belum?”
“Ya Bun lagi diusahain sama Rifi, katanya sih udah dapet tinggal pesen aja kok.”
“Sipp deh.”
***
“Bunga, kamu bisa ikutan kita rapat kan sore ini?” tanya April saat aku hendak pergi ke Jatinangor saat itu. “Duh sorry Pril, gue harus ngeliput. Lo tau kan kalau kamera ini di gue terus, jadi otomatis yaa gue harus ikut Tim nya Laila buat ngeliput pameran. Sorry yaa.” Mengapa aku begini? Aku rasanya lebih nyaman membantu projeknya Laila dari pada rapat organisasi sendiri. Sebenarnya masih ada Melisa yang bisa ngeliput juga tapi rasanya ada yang kurang kalau aku tidak ikut kesana. “Yaudah deh Bun gak apa-apa kok.”
***
“Duhhh anak umi lagi sibuk yaa.” Umi menegurku karena selalu pulang larut malam dan bahkan di rumah juga masih utak atik laptop. “Alhamdulillah umi, sekarang Bunga lagi bantuin temen Bunga yang ikutan program bem gitu. Yaa itung-itung aku cari pengalaman.” Jawabku sambil melanjutkan suapan makan malam. “Wah hebat, berarti nanti anak umi bakal jadi anggota bem dong tahun depan.” Aku terdiam saat umi mengatakan hal itu. “Enggak mi, Bunga sibuk sama organisasi yang sebelumnya udah bunga pilih.”
Jadi anggota bem? Apa ya rasanya? Pasti menyenangkan dan banyak teman-teman baru. Mungkin gak ya kalau sesudah aku bantu projek ini, Laila akan menrekomendasikan aku jadi anggota bem tahun depan. Aduh aku ini mikir apaan sih. Memang aku ini siapa?
***
Saat itu aku sedang di gerbang kampus untuk mempersiapkan perform sahabat Nuh untuk membawakan lagu coveran dari salah satu band ternama era itu. Ini adalah pameran yang ke sekian yang aku ikuti. Kemudian tiba-tiba “Bungaaaa....” teriak April dari kejauhan sambil berlari ke arahku. “Ada apa Pril, lo kok teriah-teriak gitu deh.” Tanyaku penasaran. “Kamu di sini ya?” tanya April dengan nada yang lemas. “Iya laah aku kan harus temenin temen-temenku yang mau perform di sini, nanti mereka gimana kalau gak ada aku, mereka kan Cuma kenal aku di sini.” Aku seakan menghindari sesuatu. “Kamu tau kan di atas lagi ada kajian, kamu tau kan gimana kajian kita. Kamu gak bisa ke atas apah.” Aku sebenarnya tak tega mendengar nada suara April yang seperti itu.
“Gimana yaa sebenarnya aku juga bingung, aku mau banget ke atas, tapi kasian Reno sama Wira, mereka kan Cuma kenal sama aku. mereka pasti canggung kalau sama Laila, Willy dan temen-temen yang lain.” Sungguh posisi seperti ini yang semakin membuatku bingung. “Ayo lah bentar aja kok ke atas.” Setelah aku berpikir dengan sangat cepat maka aku berpikir dengan adanya Reno di sini maka aku merasa aku juga ada di sini. Yang penting kan aku sudah menyumbangkan sesuatu untuk mereka, saatnya aku kembali ke organisasi yang sudah aku pilih dari awal. Meski berat rasanya dan aku lebih suka di sini tapi akan gak adil kalau aku lebih mementingkan mereka dari pada organisasi yang sudah membesarkan aku. “Iya pril, kita bareng ya ke atasnya.”
***
Bandung, 2008
            Gagal masuk bem hanya dengan modal bantuin Laila, Willy and the genk aku harap pekan Creative Campus tahun ini, aku dicalonkan dari organisasi untuk menjadi tim utama, bukan simpatisan lagi. Namun mungkin track record ku di dunia kampus masih kalah dengan teman-teman yang lain, masih kalah dengan Abimanyu juga.
            Aku hanya bisa duduk diam melihat teman-teman seangkatanku sesibuk itu, Abimanyu, Putri, Mery, Prabu bahkan adik kelasku Nina, Alicia, Dion dan masih banyak lagi. Posisiku? Masih sama saja seperti tahun lalu, yang sering aku sebut sebagai babu-babu istana.
***
            Suatu ketika, singkat cerita pun aku akhirnya terlibat dalam Creative Campus tahun ini. Entah mengapa aku merasa lebih ingin bekerja, ya seperti dulu semua aku yang pegang kendali, kecuali yang memang sifatnya urusan hukum aku tak pernah dilibatkan sampai sekarang pun begitu. Aku kini sedang berada di Fakultas Pertanian, menunggu Abimanyu yang katanya akan meminjamkanku kamera.
“Lihat abi gak?” tanyaku pada salah satu orang tim. “Ohh abi? Itu di atas, kita bagi-bagi nih pamerannya.” Jawabnya. Kemudian aku melihat pemandangan lain, itu kan putri kamera siapa yang dia pakai? Seperti kamera Alicia yang selama ini Abi pinjam, mirip kamera yang mau aku pinjam dari Abi. Kemudian aku mencoba mendekati Putri, “Put, itu kamera siapa ya?” tanyaku pura-pura polos. “Ini kameranya abi mbak.” Jawabnya ternyata juga polos. “Ohhh kamera yang dibawa abi maksudnya?” “Iya mbak.” “Itu sih kameranya Alicia, bukan kamera abi” kemudian aku pergi.
“Bunga gimana? Udah foto-fotonya?” abi memanggilku dari belakang.
“Katanya mau pinjemin kameranya untuk aku? kok ada di Putri.”
“Maaf Bunga kamu kan telat.”
“Tapi kan aku udah nelpon kamu bi, Cuma buat ngetag kamera doang, emangnya putri ngelakuin itu? Enggak kan? Kamu gak tanggung jawab banget ya, aku nyesel ke sini.”
Aku nyesel kesini kalimat yang setelah aku melontarkannya, aku pun berpikir. Mengapa aku bisa menyesal ke sini? Memangnya aku ke sini untuk siapa? Untuk mereka? Atau untuk siapa?
***
Alicia, kini aku ingin bercerita tentangnya. Alicia gadis umur 18 tahun yang masuk ke kampus kami, adik kelasku juga. Alicia orang yang unik, saat kusebut namanya mereka pasti langsung tahu siapa orang yang aku maksud. Karena keunikannya, mungkin dia bernasib sama denganku tahun lalu. Dicari peserta Creative Campus kemudian dijadikan bahan untuk mempublikasikan produk mereka. Seperti artis cantik yang dicari oleh produser iklan sabun. Namun hatiku berkecamuk, aku rasanya setengah tidak rela kalau Alicia harus bernasib sama denganku, capek, letih, tapi tidak jadi apa-apa, kemudian aku berpikir ulang? Aku tidak tulus? Tidak ikhlas? Untuk siapa aku bekerja? Pamrih? Serakah? Mau gerak kalau kemauannya dipenuhi. Apa bedanya aku sama anak kecil?
“Alicia dukung Om Dendi dan Mas Hendri, semangat yaaa”
Keceriaan Alicia membuatkusemakin takut, takut kalau mereka akan merindukannya, menanti kehadirannya dan ingin dia datang. Padahal tidak pun dia datang Alicia membantu setiap hari, Alicia meminjamkan kameranya sebulan penuh untuk acara ini. Kurang apa Alicia? Tapi sore itu aku seakan menjadi wanita paling tamak, aku mengkhianati semuanya.
***
“Ini Bunga kameranya.”
“Maksih mas.” Sudah kesekian kalinya aku mendengar kalimat pemberian itu, dan aku bahagia. Mungkin di tengah keserakahan yang tidak ada habisnya. Aku tidak bisa hanya diam, hanya bernyanyi, menari seperti mereka. Mereka kan sudah mendapatkan nametag itu, memakai almamater itu? Sedangkan aku? aku hanya pakai kaos biasa. Tapi banyak mereka yang tidak pakai nametag juga! Ya tapi kan mereka diberi kepercayaan untuk mengurus ini itu, sibuk, pusing, galau, gak tidur mungkin tapi bodohnya, aku mau seperti itu. Aku memang tidak biasa, aku aneh, dan tak semua sadar akan itu. Aku bukanlah orang yang ingin menyia-nyiakan kesempatan, meski aku telah terjebak dalam keserakahan.
“Halo Alicia, kamu bisa kan nanti ikut pameran?” | “Bisa dong mbak, Alicia kan mau nyanyi nanti di sana, mau nari juga.” | “Bagus mbak tunggu yaaa.”
***
“Mbak maaf Alicia gak bisa ikut ke bawah, Alicia harus di atas nerima tamu.” | “Alicia maksud kamu apaa?” | “Gini-gini, Kirana udah ke bawah duluan, Kirana gak bisa ditahan dia gak mau di atas.” Ujar April. | “Ya kalian change dong, gampang kan. Alicia lebih berguna di bawah, menurut aku kalau Alicia di atas gak ngomong apa-apa, mending dia turun ke bawah, menari bersama kita. Kalau Kirana ke bawah dia gak nari mending dia ke atas.” Aku menutup panggilan itu.
***
Emosiku memuncak saat tak banyak yang melihat pameran kami, karena alicia tidak menunjukkan bakatnya, emosiku makin menjadi-jadi saat Alicia turun dan dia dengan enaknya meminta foto bersama Hendri. Harusnya aku tidak beri foto itu, foto itu mahal, harusnya dia bayar dengan sebuah tarian. Tapi aku tak kuasa. “Ngapain lo ke bawah, gak guna tau gak!!” aku tak sadar apa yang aku lontarkan “Wihh parah lu Bun” sambung Prabu. “Ya ampun mbak, itu kalimat bikin hati Alicia sakit banget, parah banget.” Aku tak memedulikan dia berbicara apa. “Bunga besok ikut kan ke show terahir?” ajak Abimanyu. “Ikut kalau ada kamera, kalau gak ada Bunga gak mau.” Pernyataan tolol. “Iya Bunga iyaaa.” Tapi tetap saja kamera itu tidak boleh aku yang bawa selama masa Vreative tidak seperti tahun lalu yang dimanja oleh Satria.
****
“Bunga, kamu abis ngomong apa sama Alicia? Kok tadi dia langsung pulang gitu?”
“Enggak ada apa-apa kok Pril, lo santai aja kali.”
“Kayaknya tadi Alicia bilang dia sakit hati banget, entah kenapa feeling gue mengatakan itu tulus dari hatinya loh bukan bercanda.”
“Nanti gue selesaiin sendiri.”
“Seenggaknya lo sms dia kek, Alicia kamu marah? Bisa kan? Gue gak mau ini berlarut.”
“Gak sekarang ya entah kenapa gue mau mikir dulu. Kenapa bisa jadi kayak gini.”
“Lo harusnya bangga dong punya Alicia dia berkorban ke atas nerima tamu yang dia seharusnya bari di bawah, tapi dia gak gitu.”
“Buat jadi pahlawan orang bisa berkorban atau bertindak berani, silahkan pilih.”
“Ya lo apresiasi dong pilihannya dia.”
Kalau untuk berkorban, bukankah tahun lalu kamu juga mengajakku ke atas? Dan aku meninggalkan semuanya, meninggalkan Reno, semuanya, pengorbanan biasa yang dipandang luar biasa, sayang aku tak bisa mengatakan hal ini, karena jalanku sudah sangat tersesat, dan Aku berusaha untuk kembali tulus, demi mengeja satu per satu masalah yang tidak pernah ada habisnya.
****
            Kamera siapa yang selama ini aku pakai? Jawab!
            Kamu bekerja di sini niatnya apa? Jawab !
Katanya gak rela kalau Alicia dipakai sama mereka, terus yang kritis saat Alicia milih nerima tamu tuh siapa? Jawab!
***
“Ini kisah tentang keinginan yang membutuhkan pemahaman bukan sekadar pengertian.”
“Karena aku ingin mencari jalan pulang, kembali ke jati diri yang sesungguhnya, penuh ketulusan dan keikhlasan untuk Tuhan.”
“Ini kisah tentang persaudaraan yang membutuhkan pemahaman, bukan sekadar pengertian.”
“Karena aku ingin mencari jalan pulang, kembali ke jati diriku seperti yang diberikan Tuhan, saat aku dilahirkan dari rahim ibuku.”
“Aku memang tidak biasa, aku aneh, dan tak semua sadar akan itu. Aku bukanlah orang yang ingin menyia-nyiakan kesempatan, meski aku telah terjebak dalam keserakahan. Aku berusaha untuk kembali tulus, demi mengeja satu per satu masalah yang tidak pernah ada habisnya.”
****
Mulai malam itu, aku merasa seperti tidak punya saudara. Alicia pergi, tak mau membalas pesanku, kamera Alicia yang ada di tanganku justru semakin membuatku sakit, merasa orang paling kotor sedunia, orang paling kejam karena dengan lantang menyakiti saudaranya di depan umum. Aku tak tahu pantas diamaafkan atau tidak, aku tak punya wajah untuk bertatap dengan Alicia. Kalau banci itu berkata “Kami bukan najis” lalu aku pun berpikir apa bedanya aku dengan orang-orang yang sedang digambarkan di film-film? Sampah! Mereka tercebur dalam kekelaman, dan aku pun juga.
Maafkan aku bila sampai detik ini masih ada yang tersakiti, maaf bila saudaraku tersakiti hari ini dan entah sampai kapan. Aku sadar, apapun yang akan kau jatuhkan padaku. Itu adalah bagian dari pengejaan satu per satu masalah yang tidak pernah ada habisnya.
****
Jakarta 2013
            “Intan. Kameranya gak usah jadi diambil yaaa. Biarin aja Iqbal yang pakai dulu.” Kemudian aku berlari meninggalkan mereka semua. Aku malu dengan benda itu, aku malu dengan semuanya. Aku memang terlanjur cinta dengan apa yang selama ini aku lakukan, tapi mungkin aku sempat salah niat. Semoga aku masih bisa diampuni.
            “Bunga.....”
            Aku menghentikan langkahku, meski air mata yang mengalir masih deras tak bisa berhenti. Aku tak mampu menolehkan wajah kepada Abimanyu, dia pasti malu bertemu dengan teman yang serakah seperti aku.
            “Bunga...Terimakasih sudah mau meminjamkan kamera sama adikku. Kamu jangan sedih.”



Terinspirasi dari :
-Sampel Opening Hanya Kerudung Sampah
-Terlanjur Cinta Ungu feat Rossa
-Perahu Kertas Maudy Ayunda
-Separuh Aku Noah (Live Perform)
-Bintang Di Surga Momo Geisha (Live Perform)
-Puisi Adinda Noah (Live Perform)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar