“Ini
kisah tentang keinginan yang membutuhkan pemahaman bukan sekadar pengertian.”
“Karena
aku ingin mencari jalan pulang, kembali ke jatidiri yang sesungguhnya, penuh
ketulusan dan keikhlasan untuk Tuhan.”
“Aku
memang tidak biasa, aku aneh, dan tak semua sadar akan itu. Aku bukanlah orang
yang ingin menyia-nyiakan kesempatan, meski aku telah terjebak dalam
keserakahan. Aku berusaha untuk kembali tulus, demi mengeja satu per satu
masalah yang tidak pernah ada habisnya.”
***
Jakarta,
2013
“Intan...Intan....”
aku memanggilnya dengan penuh kasih sayang.
“Iya
tante..” tak lama kemudian anak itu datang.
“Intan,
tante boleh pinjem kamera Intan yaa. Soalnya kamera tante lagi dipinjem sama
Mas Arif buat acara kantornya, dan tante sekarang lagi butuh soalnya temen
tante, Yulia mau resepsi, terus dia mau mama fotoin pasca weddingnya.”
“Maaf
tante, kamera Intan lagi dipinjem sama temen.” Dia berkata seakan takut aku
marahi.
“Sama
siapa? Kira-kira bisa aku ambil gak, tante gak enak sama Yulia. Boleh yaaa.
Tante udah bilang kok ke mama kamu kalau tante emang mau pinjem, dan pinjemnya
bayar loh hehehe” Aku setengah memohon, aku tak pernah bisa melepas kamera
siapapun itu meski bukan milikku.
“Yaudah
nanti aku minta Iqbal buat balikin deh.” Jawab Intan dengan yakin.
“Iqbal?
Nama temen Intan itu Iqbal? Siapa dia? Tumben nih kamu udah jarang cerita sama
tante, biasanya kamu selalu cerita kalau punya temen baru.” Entah mengapa aku
merasa punya ketertarikan sendiri dengan anak yang bernama Iqbal itu.
“Iya
tan maaf lupa, jadi Iqbal itu temen aku beda fakultas sih, dia itu anak MIPA
ma. Nama panjangnya Muhammad Iqbal Dzulqornain, bapaknya ustadz ma sering ngisi
di masid deket rumahnya. Dia anaknya baik, makanya aku mau minjemin kamera ke
dia.”
Aku hanya terdiam membisu mendengar
cerita tentang Iqbal. Aku merasa pernah mendengar namanya, tapi di mana ya? Aku
pun lupa. Tapi entah kenapa aku merasa makin penasaran dengan anak itu.
“Tan...?”
“Iya sayang. Oh iya kamu tau nama ayahnya?”
“Iya sayang. Oh iya kamu tau nama ayahnya?”
“Tante
nih kayak mau lamaran aja sampe harus tau nama ayah, hehehe. Tapi aku tahu kok
nama ayahnya Iqbal. Namanya Ustadz Abimanyu.”
Abimanyu, apakah abimanyu yang itu
ya?
Bandung,
2008
“Bunga
ini uangnya.”
“Abimanyu
makasih banyak ya, aku gak tahu harus bilang apa. Ini berguna banget mas buat
aku, makasih udah nolong aku.”
“Sama-sama
Bunga, oh ya kamu besok datang ke seminar kan?”
“Seminar
ya?”
“Iyaaa,
kamu gak lupa kan Bun, besok kan ada seminar film horror, hiiii hakikat film
horror sebenarnya. Aku jadi moderator, Bunga.”
Jakarta,
2013
“Tan aku berangkat yaa, mau ambil
kamera di Iqbal.” Suara Intan memecah lamunanku. “Tante ikut yaa, mama anterin
aja.” “Yuk.”
***
Perjalanan menuju rumah Iqbal
ternyata cukup jauh. Rasa penasaran ini makin menjadi-jadi, apakah itu benar
Abimanyu yang itu, kalau iya berarti dia sekarang sudah menikah dan punya anak
tapi kok anaknya gede banget, perasaan dulu sama-sama lulus 2009 kok anaknya
udah kuliah. Mungkin bukan Abimanyu yang itu.
“Nah tante, udah sampai. Ini rumah
Iqbal.”
Aku melihat ke sekeliling rumah itu.
Rumah yang tampak begitu asri, banyak tanaman, sepertinya kalau abi memang
sudah menikah pasti istrinya adalah seseorang yang sangat rajin. “Om Abi.....”
Intan memanggil nama itu dan kemudian seseorang menegok karena panggilannya.
Aku terkejut. Abimanyu...
“Intan....”
“Om Abi, Iqbalnya ada? Oiia om aku
kesini sama tante aku, kenalin ini namanya Tante Bunga. Tante ini Ustadz
Abimanyu yang aku ceritain itu.” Intan begitu polos mengenalkan kami, sedangkan
aku dan lelaki itu sama-sama terdiam. Masih terdiam.
“Om maaf ya kamera yang kemarin aku
pinjemin ke Iqbal mau aku ambil lagi, sehari aja, Iqbal kan masih pakenya 2
hari lagi, soalnya tante Bunga mau pake buat foto pascawedding temennya.” Aku
masih terdiam dan di sini aku merasa sangat kotor, bahkan aku malu menatap
dunia dan menatap Abimanyu sekalipun.
“Bunga.....” Abimanyu memanggil
namaku, sungguh hati ini sakit sekali rasanya, karena kotornya diriku, aku malu
menatap dunia, ini tak mungkin terjadi. Badanku bergetar, tanganku dingin, aku
hanya menunduk bagai siswa yang sedang diplonco, aku malu sama Abi, aku malu
sama Intan dan aku sangat malu sama Iqbal.
Bandung,
2007
Menikmati indahnya dunia kampus, ya
itu aku. Aku merasa muda, proaktif, aku bisa melakukan segalanya apapun yang
bisa mengembangkan diriku menjadi lebih baik. Tak kusangka, aku pun ditawari
sebuah projek yang bagiku akan lebih mengembangkan diriku lagi. Yaa pada malam
itu seorang teman datang kepadaku dan mulai malam itu semuanya berubah.
“Ya
jadi gitu Bunga, inti dari projek Creative Campus ini adalah kita punya apa dan
kita bertarung di masa pameran dan puncaknya award, dan lo udah tau kan projek
kita ada kajian ilmiah sersan serius tapi santai, pengabdian masyarakat berkala
berbasis persaudaraan, sana sini seni dan yaa yang kayak tadi udah gue jelasin.
Gimana?” papar temanku panjaaaang lebar.
“Terus
gimana caranya kita, biar buat orang mau dateng ke pameran? Soalnya kan kalo
publikasi biasa kayaknya kurang deh. Gimana kalau kita bikin video klip aja,
atau lagu yah lagu kita cover lagu aja gimana?” ideku pun mulai nakal,
menggeliat kemana-mana menembus awan dan yaa gila seperti biasanya.
“Nah
itu dia Bun, itu gue serahin sama lo. Nanti kita jalan sama-sama lo butuh apa
nanti kita yang sediain yang penting kita bisa mengusung projek kita ini biar
menang dan nantinya dapet dana.”
Ya semester 5, membuatku semakin
merasa jadi mahasiswa dimana-mana. Terutama dengan keterlibatanku dengan projek
ini. Projek ini begitu menyenangkan, aku memegang kendali semuanya, aku butuh
apa mereka semua yang penuhi. “Halo Laila, nanti sore kan aku mau shooting aku
butuh property yang udah aku emailin semalem.” | “Iya beres deh Bunga, udah
semua kok ada di Satria sama tim yang lain. Oke?” | “Oke La...”
***
“La,
kameranya mana? Aku mulai shooting sekarang nih mumpung cahayanya terang,
lumayan.” Kemudian Laila memberiku sebuah tas berisi handycam. “Bunga, ini
kameranya di lo dulu aja, sampai projek kita selesai.?” “Beneran nih La?” “Iya
tapi lo janji, tiap kita pameran lo musti ikut dan lo harus selesain semua
bagian lo, shooting apa dan segala macam.” Aku begitu terpesona dengan
kepanitiaan peserta Creative Campus versi Laila, dia dan teman-temannya begitu
men-service kami simpatisan yang mau membantu. Salut deh.
“Bun....!”
teriak Satria dari jauh.
“Satria...”
“Ini
yaa property nya gue taroh sini, ada lagi gak yang perlu gue bantu?”
“Udah
udah taro situ aja, makasih yaa. Oia yang bakal mau ikut shooting siapa lagi,
katanya lo mau bawa temen.”
“Iya
bun tenang, lagi otw ke sini mereka, sabar yah.”
Aku
nyaman, aku bahagia dan aku senang, alu dapat mengembangkan banyak ide di sini.
Laila, Satria, Eni, Rifi dan masih banyak lagi semuanya baik, semuanya mengejar
deadline dan mereka bertanggung jawab atas yang mereka gariskan, dan kamera ini
aku merasa seperti hak milik pada kamera ini.
***
“Halo
Bunga, siang ini lo bisa ke Jatinangor kan buat sesi pameran di sana?”
“Oh
iya-iya bisa La, oia stand mic buat perform anak-anak di Jatinangor udah ada
belum?”
“Ya
Bun lagi diusahain sama Rifi, katanya sih udah dapet tinggal pesen aja kok.”
“Sipp
deh.”
***
“Bunga,
kamu bisa ikutan kita rapat kan sore ini?” tanya April saat aku hendak pergi ke
Jatinangor saat itu. “Duh sorry Pril, gue harus ngeliput. Lo tau kan kalau
kamera ini di gue terus, jadi otomatis yaa gue harus ikut Tim nya Laila buat
ngeliput pameran. Sorry yaa.” Mengapa aku begini? Aku rasanya lebih nyaman
membantu projeknya Laila dari pada rapat organisasi sendiri. Sebenarnya masih
ada Melisa yang bisa ngeliput juga tapi rasanya ada yang kurang kalau aku tidak
ikut kesana. “Yaudah deh Bun gak apa-apa kok.”
***
“Duhhh
anak umi lagi sibuk yaa.” Umi menegurku karena selalu pulang larut malam dan
bahkan di rumah juga masih utak atik laptop. “Alhamdulillah umi, sekarang Bunga
lagi bantuin temen Bunga yang ikutan program bem gitu. Yaa itung-itung aku cari
pengalaman.” Jawabku sambil melanjutkan suapan makan malam. “Wah hebat, berarti
nanti anak umi bakal jadi anggota bem dong tahun depan.” Aku terdiam saat umi
mengatakan hal itu. “Enggak mi, Bunga sibuk sama organisasi yang sebelumnya
udah bunga pilih.”
Jadi
anggota bem? Apa ya rasanya? Pasti menyenangkan dan banyak teman-teman baru.
Mungkin gak ya kalau sesudah aku bantu projek ini, Laila akan menrekomendasikan
aku jadi anggota bem tahun depan. Aduh aku ini mikir apaan sih. Memang aku ini
siapa?
***
Saat
itu aku sedang di gerbang kampus untuk mempersiapkan perform sahabat Nuh untuk
membawakan lagu coveran dari salah satu band ternama era itu. Ini adalah
pameran yang ke sekian yang aku ikuti. Kemudian tiba-tiba “Bungaaaa....” teriak
April dari kejauhan sambil berlari ke arahku. “Ada apa Pril, lo kok
teriah-teriak gitu deh.” Tanyaku penasaran. “Kamu di sini ya?” tanya April
dengan nada yang lemas. “Iya laah aku kan harus temenin temen-temenku yang mau perform
di sini, nanti mereka gimana kalau gak ada aku, mereka kan Cuma kenal aku di
sini.” Aku seakan menghindari sesuatu. “Kamu tau kan di atas lagi ada kajian,
kamu tau kan gimana kajian kita. Kamu gak bisa ke atas apah.” Aku sebenarnya
tak tega mendengar nada suara April yang seperti itu.
“Gimana
yaa sebenarnya aku juga bingung, aku mau banget ke atas, tapi kasian Reno sama
Wira, mereka kan Cuma kenal sama aku. mereka pasti canggung kalau sama Laila,
Willy dan temen-temen yang lain.” Sungguh posisi seperti ini yang semakin
membuatku bingung. “Ayo lah bentar aja kok ke atas.” Setelah aku berpikir
dengan sangat cepat maka aku berpikir dengan adanya Reno di sini maka aku
merasa aku juga ada di sini. Yang penting kan aku sudah menyumbangkan sesuatu
untuk mereka, saatnya aku kembali ke organisasi yang sudah aku pilih dari awal.
Meski berat rasanya dan aku lebih suka di sini tapi akan gak adil kalau aku
lebih mementingkan mereka dari pada organisasi yang sudah membesarkan aku. “Iya
pril, kita bareng ya ke atasnya.”
***
Bandung,
2008
Gagal masuk bem hanya dengan modal
bantuin Laila, Willy and the genk aku harap pekan Creative Campus tahun ini,
aku dicalonkan dari organisasi untuk menjadi tim utama, bukan simpatisan lagi.
Namun mungkin track record ku di dunia kampus masih kalah dengan teman-teman
yang lain, masih kalah dengan Abimanyu juga.
Aku hanya bisa duduk diam melihat
teman-teman seangkatanku sesibuk itu, Abimanyu, Putri, Mery, Prabu bahkan adik
kelasku Nina, Alicia, Dion dan masih banyak lagi. Posisiku? Masih sama saja
seperti tahun lalu, yang sering aku sebut sebagai babu-babu istana.
***
Suatu ketika, singkat cerita pun aku
akhirnya terlibat dalam Creative Campus tahun ini. Entah mengapa aku merasa
lebih ingin bekerja, ya seperti dulu semua aku yang pegang kendali, kecuali
yang memang sifatnya urusan hukum aku tak pernah dilibatkan sampai sekarang pun
begitu. Aku kini sedang berada di Fakultas Pertanian, menunggu Abimanyu yang
katanya akan meminjamkanku kamera.
“Lihat
abi gak?” tanyaku pada salah satu orang tim. “Ohh abi? Itu di atas, kita
bagi-bagi nih pamerannya.” Jawabnya. Kemudian aku melihat pemandangan lain, itu
kan putri kamera siapa yang dia pakai? Seperti kamera Alicia yang selama ini
Abi pinjam, mirip kamera yang mau aku pinjam dari Abi. Kemudian aku mencoba
mendekati Putri, “Put, itu kamera siapa ya?” tanyaku pura-pura polos. “Ini
kameranya abi mbak.” Jawabnya ternyata juga polos. “Ohhh kamera yang dibawa abi
maksudnya?” “Iya mbak.” “Itu sih kameranya Alicia, bukan kamera abi” kemudian
aku pergi.
“Bunga
gimana? Udah foto-fotonya?” abi memanggilku dari belakang.
“Katanya
mau pinjemin kameranya untuk aku? kok ada di Putri.”
“Maaf
Bunga kamu kan telat.”
“Tapi
kan aku udah nelpon kamu bi, Cuma buat ngetag kamera doang, emangnya putri
ngelakuin itu? Enggak kan? Kamu gak tanggung jawab banget ya, aku nyesel ke
sini.”
Aku
nyesel kesini kalimat yang setelah aku melontarkannya,
aku pun berpikir. Mengapa aku bisa menyesal ke sini? Memangnya aku ke sini
untuk siapa? Untuk mereka? Atau untuk siapa?
***
Alicia,
kini aku ingin bercerita tentangnya. Alicia gadis umur 18 tahun yang masuk ke
kampus kami, adik kelasku juga. Alicia orang yang unik, saat kusebut namanya
mereka pasti langsung tahu siapa orang yang aku maksud. Karena keunikannya,
mungkin dia bernasib sama denganku tahun lalu. Dicari peserta Creative Campus
kemudian dijadikan bahan untuk mempublikasikan produk mereka. Seperti artis
cantik yang dicari oleh produser iklan sabun. Namun hatiku berkecamuk, aku
rasanya setengah tidak rela kalau Alicia harus bernasib sama denganku, capek,
letih, tapi tidak jadi apa-apa, kemudian aku berpikir ulang? Aku tidak tulus?
Tidak ikhlas? Untuk siapa aku bekerja? Pamrih? Serakah? Mau gerak kalau
kemauannya dipenuhi. Apa bedanya aku sama anak kecil?
“Alicia
dukung Om Dendi dan Mas Hendri, semangat yaaa”
Keceriaan
Alicia membuatkusemakin takut, takut kalau mereka akan merindukannya, menanti
kehadirannya dan ingin dia datang. Padahal tidak pun dia datang Alicia membantu
setiap hari, Alicia meminjamkan kameranya sebulan penuh untuk acara ini. Kurang
apa Alicia? Tapi sore itu aku seakan menjadi wanita paling tamak, aku
mengkhianati semuanya.
***
“Ini
Bunga kameranya.”
“Maksih
mas.” Sudah kesekian kalinya aku mendengar kalimat pemberian itu, dan aku
bahagia. Mungkin di tengah keserakahan yang tidak ada habisnya. Aku tidak bisa
hanya diam, hanya bernyanyi, menari seperti mereka. Mereka kan sudah
mendapatkan nametag itu, memakai almamater itu? Sedangkan aku? aku hanya pakai
kaos biasa. Tapi banyak mereka yang tidak pakai nametag juga! Ya tapi kan
mereka diberi kepercayaan untuk mengurus ini itu, sibuk, pusing, galau, gak
tidur mungkin tapi bodohnya, aku mau seperti itu. Aku memang tidak biasa, aku
aneh, dan tak semua sadar akan itu. Aku bukanlah orang yang ingin
menyia-nyiakan kesempatan, meski aku telah terjebak dalam keserakahan.
“Halo
Alicia, kamu bisa kan nanti ikut pameran?” | “Bisa dong mbak, Alicia kan mau
nyanyi nanti di sana, mau nari juga.” | “Bagus mbak tunggu yaaa.”
***
“Mbak
maaf Alicia gak bisa ikut ke bawah, Alicia harus di atas nerima tamu.” |
“Alicia maksud kamu apaa?” | “Gini-gini, Kirana udah ke bawah duluan, Kirana
gak bisa ditahan dia gak mau di atas.” Ujar April. | “Ya kalian change dong,
gampang kan. Alicia lebih berguna di bawah, menurut aku kalau Alicia di atas
gak ngomong apa-apa, mending dia turun ke bawah, menari bersama kita. Kalau
Kirana ke bawah dia gak nari mending dia ke atas.” Aku menutup panggilan itu.
***
Emosiku
memuncak saat tak banyak yang melihat pameran kami, karena alicia tidak
menunjukkan bakatnya, emosiku makin menjadi-jadi saat Alicia turun dan dia
dengan enaknya meminta foto bersama Hendri. Harusnya aku tidak beri foto itu,
foto itu mahal, harusnya dia bayar dengan sebuah tarian. Tapi aku tak kuasa.
“Ngapain lo ke bawah, gak guna tau gak!!” aku tak sadar apa yang aku lontarkan
“Wihh parah lu Bun” sambung Prabu. “Ya ampun mbak, itu kalimat bikin hati
Alicia sakit banget, parah banget.” Aku tak memedulikan dia berbicara apa.
“Bunga besok ikut kan ke show terahir?” ajak Abimanyu. “Ikut kalau ada kamera,
kalau gak ada Bunga gak mau.” Pernyataan tolol. “Iya Bunga iyaaa.” Tapi tetap
saja kamera itu tidak boleh aku yang bawa selama masa Vreative tidak seperti
tahun lalu yang dimanja oleh Satria.
****
“Bunga,
kamu abis ngomong apa sama Alicia? Kok tadi dia langsung pulang gitu?”
“Enggak
ada apa-apa kok Pril, lo santai aja kali.”
“Kayaknya
tadi Alicia bilang dia sakit hati banget, entah kenapa feeling gue mengatakan
itu tulus dari hatinya loh bukan bercanda.”
“Nanti
gue selesaiin sendiri.”
“Seenggaknya
lo sms dia kek, Alicia kamu marah? Bisa kan? Gue gak mau ini berlarut.”
“Gak
sekarang ya entah kenapa gue mau mikir dulu. Kenapa bisa jadi kayak gini.”
“Lo
harusnya bangga dong punya Alicia dia berkorban ke atas nerima tamu yang dia
seharusnya bari di bawah, tapi dia gak gitu.”
“Buat
jadi pahlawan orang bisa berkorban atau bertindak berani, silahkan pilih.”
“Ya
lo apresiasi dong pilihannya dia.”
Kalau
untuk berkorban, bukankah tahun lalu kamu juga mengajakku ke atas? Dan aku
meninggalkan semuanya, meninggalkan Reno, semuanya, pengorbanan biasa yang
dipandang luar biasa, sayang aku tak bisa mengatakan hal ini, karena jalanku
sudah sangat tersesat, dan Aku berusaha untuk kembali tulus, demi mengeja satu
per satu masalah yang tidak pernah ada habisnya.
****
Kamera siapa yang selama ini aku
pakai? Jawab!
Kamu bekerja di sini niatnya apa?
Jawab !
Katanya
gak rela kalau Alicia dipakai sama mereka, terus yang kritis saat Alicia milih
nerima tamu tuh siapa? Jawab!
***
“Ini
kisah tentang keinginan yang membutuhkan pemahaman bukan sekadar pengertian.”
“Karena
aku ingin mencari jalan pulang, kembali ke jati diri yang sesungguhnya, penuh
ketulusan dan keikhlasan untuk Tuhan.”
“Ini
kisah tentang persaudaraan yang membutuhkan pemahaman, bukan sekadar
pengertian.”
“Karena
aku ingin mencari jalan pulang, kembali ke jati diriku seperti yang diberikan
Tuhan, saat aku dilahirkan dari rahim ibuku.”
“Aku
memang tidak biasa, aku aneh, dan tak semua sadar akan itu. Aku bukanlah orang
yang ingin menyia-nyiakan kesempatan, meski aku telah terjebak dalam
keserakahan. Aku berusaha untuk kembali tulus, demi mengeja satu per satu
masalah yang tidak pernah ada habisnya.”
****
Mulai
malam itu, aku merasa seperti tidak punya saudara. Alicia pergi, tak mau
membalas pesanku, kamera Alicia yang ada di tanganku justru semakin membuatku
sakit, merasa orang paling kotor sedunia, orang paling kejam karena dengan
lantang menyakiti saudaranya di depan umum. Aku tak tahu pantas diamaafkan atau
tidak, aku tak punya wajah untuk bertatap dengan Alicia. Kalau banci itu
berkata “Kami bukan najis” lalu aku pun berpikir apa bedanya aku dengan
orang-orang yang sedang digambarkan di film-film? Sampah! Mereka tercebur dalam
kekelaman, dan aku pun juga.
Maafkan
aku bila sampai detik ini masih ada yang tersakiti, maaf bila saudaraku
tersakiti hari ini dan entah sampai kapan. Aku sadar, apapun yang akan kau
jatuhkan padaku. Itu adalah bagian dari pengejaan satu per satu masalah yang
tidak pernah ada habisnya.
****
Jakarta
2013
“Intan. Kameranya gak usah jadi
diambil yaaa. Biarin aja Iqbal yang pakai dulu.” Kemudian aku berlari
meninggalkan mereka semua. Aku malu dengan benda itu, aku malu dengan semuanya.
Aku memang terlanjur cinta dengan apa yang selama ini aku lakukan, tapi mungkin
aku sempat salah niat. Semoga aku masih bisa diampuni.
“Bunga.....”
Aku menghentikan langkahku, meski
air mata yang mengalir masih deras tak bisa berhenti. Aku tak mampu menolehkan
wajah kepada Abimanyu, dia pasti malu bertemu dengan teman yang serakah seperti
aku.
“Bunga...Terimakasih sudah mau
meminjamkan kamera sama adikku. Kamu jangan sedih.”
Terinspirasi
dari :
-Sampel
Opening Hanya Kerudung Sampah
-Terlanjur
Cinta Ungu feat Rossa
-Perahu
Kertas Maudy Ayunda
-Separuh
Aku Noah (Live Perform)
-Bintang
Di Surga Momo Geisha (Live Perform)
-Puisi
Adinda Noah (Live Perform)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar