Senin, 23 Desember 2013

Teduh yang Riang


(Teduh yang Riang)

                Aku mengenalmu dalam kesunyian, dalam kediaman tanpa kebisuan. Aku mengenalmu dalam ketidakpastian, dalam kebimbangan tentang banyak orang, aku tidak fokus hingga aku tak sadar di sana ada kamu. Saat itu aku sedang terbang tinggi dibawa oleh malaikat-malaikat negarawan, dipimpin oleh dua kawanan perang yang tampan bernama Pangeran Negawarawan dan Rekannya.
                Tempat dimana aku mengenalmu benar-benar tak kupikirkan. Malam itu dunia sunyi seakan untukmu sendiri dan untukku sendiri. Aku tak peduli ada engkau, engkau tak memikirkan ada aku. Seperti bintang yang tak ingin mengelilingi bulan dan  bulan bisa berdiri sendiri dengan kokohnya. Sampai suatu pagi aku mengenal dirimu.
                Aku lelah bermain di masa lalu, aku sedih menengok ke masa silam. Yang kutahu sekarang kau adalah teduh yang riang, bercampur aduk dengan kawanan perang, membunuhku secara diam-diam. Dengan berat hati, aku mengucapkan selamat berbahagia, salam kebahagiaan untuk gemercik hujan lengkap dengan teduhnya, aku hanya bisa melihat dari jauh dengan pengharapan kosong.


                Bagai kapal yang tenggelam dan makin dalam menuju dasar lautan. Lengkap sudah semuanya saat kau sempurnakan semuanya. Aku pun menghela nafas saat kau melewatiku penuh harum kasturi. Aku memang hambar bukan kau yang membawa bunga kepalsuan.
                Sekarang dan dulu sungguh berbeda. Mentari telah sinari wajahmu yang apik dan mereka tersadar akan pancarmu. Aku tak lagi siapa, dan kamu milik semua. Tersenyum dari jauh kurasa lebih dari cukup, kalian hebat, kamu terlebih. Kalian sang negarawan, bangunlah dengan cinta. Aku hanya bunga yang duduk manis di taman negaramu.
                Kita terlalu banyak berlari mengarungi kehidupan bersama. Seluruh dunia akhirnya tahu kamu ada, atau memang aku yang baru tahu sekarang. Semua akan ada masanya untuk menguji atau meninggalkan semua yang kita raih bersama. Hidup di tengah kesunyian mencari penghidupan di tengah cinta.
                Perang saat itu dimulai, kuhidupkan api antara kita berdua. Kita saling membunuh tapi kita saling menguatkan satu sama lain. Kita saling mencekik namun kita saling memuji di kehidupan yang abu-abu. Kau dorong aku ke sumur, kutarik engkau ke pantai, kubakar engkau dengan terik matahari. Kau jerat leherku dengan kain sutra, kubunuh engkau dengan batu. Kemudian kita terseok-seok di tengah gemuruh langit luas, di malam sunyi kita bersama.
                Walau aku tau sebenarnya kita ingin saling bergandengan, menyelamatkan kau dari petir, memulangkanku sebelum malam datang. Aku juga tahu kau sembuhkan luka-luka tusukku, kupercikan air ke wajahmu agar kau bertahan di padang pasir. Kami pulang berlainan arah. Kami ada di abu-abunya langit, tak mau hujan, malu mengembalikan matahari, sungkan menerbitkan bulan. Kami bahagia dengan kepolosan ini.
                Aku merindukan kesendirianmu di dalam kesunyian yang kumiliki. Bukan keriangan malam di tengah pembunuhan yang kau lakukan perlahan. Kau adalah lambang kesepian, aku mewakili derita kesunyian. Aku tidak pernah menuduhmu mengkhianati malam tapi memang mentari pagi tak akan pernah kurasakan.


Bunga di tengah hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar