(Teduh yang Riang)
Aku
mengenalmu dalam kesunyian, dalam kediaman tanpa kebisuan. Aku mengenalmu dalam
ketidakpastian, dalam kebimbangan tentang banyak orang, aku tidak fokus hingga
aku tak sadar di sana ada kamu. Saat itu aku sedang terbang tinggi dibawa oleh
malaikat-malaikat negarawan, dipimpin oleh dua kawanan perang yang tampan
bernama Pangeran Negawarawan dan Rekannya.
Tempat dimana aku mengenalmu
benar-benar tak kupikirkan. Malam itu dunia sunyi seakan untukmu sendiri dan
untukku sendiri. Aku tak peduli ada engkau, engkau tak memikirkan ada aku.
Seperti bintang yang tak ingin mengelilingi bulan dan bulan bisa berdiri sendiri dengan kokohnya.
Sampai suatu pagi aku mengenal dirimu.
Aku lelah bermain di masa lalu,
aku sedih menengok ke masa silam. Yang kutahu sekarang kau adalah teduh yang
riang, bercampur aduk dengan kawanan perang, membunuhku secara diam-diam.
Dengan berat hati, aku mengucapkan selamat berbahagia, salam kebahagiaan untuk
gemercik hujan lengkap dengan teduhnya, aku hanya bisa melihat dari jauh dengan
pengharapan kosong.
Bagai kapal yang tenggelam dan
makin dalam menuju dasar lautan. Lengkap sudah semuanya saat kau sempurnakan
semuanya. Aku pun menghela nafas saat kau melewatiku penuh harum kasturi. Aku
memang hambar bukan kau yang membawa bunga kepalsuan.
Sekarang dan dulu sungguh
berbeda. Mentari telah sinari wajahmu yang apik dan mereka tersadar akan
pancarmu. Aku tak lagi siapa, dan kamu milik semua. Tersenyum dari jauh kurasa
lebih dari cukup, kalian hebat, kamu terlebih. Kalian sang negarawan, bangunlah
dengan cinta. Aku hanya bunga yang duduk manis di taman negaramu.
Kita terlalu banyak berlari
mengarungi kehidupan bersama. Seluruh dunia akhirnya tahu kamu ada, atau memang
aku yang baru tahu sekarang. Semua akan ada masanya untuk menguji atau meninggalkan
semua yang kita raih bersama. Hidup di tengah kesunyian mencari penghidupan di
tengah cinta.
Perang saat itu dimulai,
kuhidupkan api antara kita berdua. Kita saling membunuh tapi kita saling
menguatkan satu sama lain. Kita saling mencekik namun kita saling memuji di
kehidupan yang abu-abu. Kau dorong aku ke sumur, kutarik engkau ke pantai,
kubakar engkau dengan terik matahari. Kau jerat leherku dengan kain sutra,
kubunuh engkau dengan batu. Kemudian kita terseok-seok di tengah gemuruh langit
luas, di malam sunyi kita bersama.
Walau aku tau sebenarnya kita
ingin saling bergandengan, menyelamatkan kau dari petir, memulangkanku sebelum
malam datang. Aku juga tahu kau sembuhkan luka-luka tusukku, kupercikan air ke
wajahmu agar kau bertahan di padang pasir. Kami pulang berlainan arah. Kami ada
di abu-abunya langit, tak mau hujan, malu mengembalikan matahari, sungkan
menerbitkan bulan. Kami bahagia dengan kepolosan ini.
Aku merindukan kesendirianmu di
dalam kesunyian yang kumiliki. Bukan keriangan malam di tengah pembunuhan yang
kau lakukan perlahan. Kau adalah lambang kesepian, aku mewakili derita
kesunyian. Aku tidak pernah menuduhmu mengkhianati malam tapi memang mentari
pagi tak akan pernah kurasakan.
Bunga
di tengah hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar